Sehabis hari yang panjang di sekolah, aku masuk berjalan ke rumah dan melihat dua buku besar mengkilap di atas meja ruang tamu kami. “Oh, barang besar apa itu? Buku berat lagi?”, pikirku. Ayahku dulu punya perpustakaan mini di laci tempat dia menyimpan beberapa buku tebal dan berat tentang politik, filosofi, dan agama. Setiap aku membersihkan laci itu, aku akan mencoba mengintip isinya namun aku langsung menyerah hanya karena meliat ribuan baris kata yang tidak ada ujungnya.
Tapi ada yang berbeda kali ini, kedua buku di atas meja ini memiliki sampul yang menarik. Aku penasaran dan mendekat ke meja, dan aku bisa melihat gambar seorang perempuan di antara dua kain tenun di salah satu sampul buku, dan gambar orang-orang berdiri di bawah jembatan di sampul buku lainnya.
Untuk pertama kalinya, aku tertarik membaca buku selain “Lima Sekawan”, “Trio Detektif’, “Sapta Siaga”, dan majalah Bobo. Saat aku membuka lembaran bukunya, aku bisa melihat gambar yang menarik lagi dan lagi. Rasa keingintahuanku semakin membuncah dan aku mulai membaca takarir-takarirnya. Aku dibawa ke belahan dunia lain, keluar dari kampung halamanku Padangsidimpuan di Provinsi Sumatera Utara. Imajinasiku terbang ke sebuah tempat bernama Nusa Tenggara Timur (NTT) dimana banyak orang membuat kain tenun yang warna-warni dan memiliki pola yang istimewa, dan ini membuatku semakin tenggelam di dalam buku. Tempat itu juga mempunyai pemandangan alam dan sejarah yang luar biasa, yang semuanya ini berbeda dari kampung halamanku. “Kain Untuk Suami: Tenun Tradisional NTT” merupakan judul buku tersebut, dan ini dia titik pertama perjalananku ke timur Indonesia. Buku lainnya juga sama menariknya, namun aku akan bahas dicerita lain nanti saja.
Singkatnya, 14 tahun kemudian saat aku sedang studi S2 di London, aku secara mengejutkan mendapatkan kesempatan untuk menjadi relawan penerima tamu di stan NTT di acara pameran London World Travel. Kembali aku tertegun dengan keindahan NTT saat sedang melakukan tugasku selama tiga hari berturut-turut. Layaknya déjà vu diriku yang sedang membaca dan menikmati cerita dalam buku “Kain Untuk Suami’ bertahun-tahun lalu, namun kali ini membicarakan apa yang ada di dalam pulau-pulau NTT sepertinya berhasil menciptakan keterikatan tersendiri. Sejak saat itu, aku selalu mengatakan kalua aku akan pergi dan bekerja di NTT kepada siapapun yang menanyakan kemana aku akan pergi setelah menyelesaikan studi. Lucunya, aku sepertinya cinta buta dengan ide itu karena tidak punya alasan yang jelas ataupun tawaran pekerjaan di saat itu.
Tepat setelah selesai studi, aku menerima tawaran pekerjaan dari Program Organisasi Penggerak Indonesia Mengajar sebagai co-fasilitator di antara berbagai tawaran lainnya. Awalnya, aku ditunjuk untuk bekerja di sebuah daerah di Sumatera, tetapi dunia seperti bekerja sama menempatkan aku di Kabupaten Rote Ndao. Hal ini berlanjut terus ke tahun berikutnya karena ditunjuk menjadi project manager Pelatihan Peningkatan Literasi dan Numerasi untuk lebih dari 300 guru dan 25 kepala sekolah. Kalau kalian menunggu sebuah akhir cerita yang Bahagia, mungkin cerita ini memang untuk kalian.
Mulai awal tahun 2023 ini, aku sudah memulai perjalananku sebagai project manager di Taman Bacaan Pelangi di Kabupaten Nagekeo, NTT. Sepertinya teori law of attraction atau hukum tarik menarik itu benar adanya dalam kasus ini dan menyambungkan titik demi titik lainnya. Aku bersyukur Taman Bacaan Pelangi memberikan kesempatan untuk hidup dan bekerja di NTT. Saat ini, aku tidak lagi cinta buta namun cinta dengan tulus dan berkomitmen dengan ide mengembangkan sayap dalam perjalanan yang penuh arti meningkatkan kemampuan literasi siswa di seluruh NTT melalui perpustakaan ramah anak.