“Hari kemerdekaan Indonesia itu diperingati setiap tanggal berapa, ya?”
“TOJO BELAS AGOSTOOOOS!”
“Sehabis upacara, biasanya ada acara apa lagi, sih?”
“LOMBAAAAA!”
“Lomba apa?”
“LOMBA KARUNG! TARIK TAMBANG! MAKAN KERUPUK!”
“Nah kalau kita lihat di sampul buku ini, kira-kira buku ini bercerita tentang apa ya?”
“Tentang kerupuk! Lomba makan kerupuk! Lomba tojo belasan!”
Pertanyaan – pertanyaan Ibu Guru selalu disambut antusias. Anak – anak menjawab bersamaan dengan suara keras. Mereka mau memastikan jawabannya bisa terdengar oleh Ibu Guru di tengah suara teman lain yang juga keras.
“Sssst. Satu – satu, ya. Yang mau menjawab ayo angkat tangannya dulu,” Ibu Guru mencoba menenangkan kembali suasana perpustakaan.
“Bergantian, ya,” ucap Ibu Guru seraya mempersilakan salah seorang anak yang sudah mengacungkan tangannya tinggi – tinggi untuk menjawab. “Ayo, Anjelo.”
“Tentang anak yang ikut lomba makan kerupuk, Bu,” jawab Anjelo dengan volume yang sudah dikecilkan.
Setelah mendengar jawaban dari beberapa anak, Ibu Guru mulai membacakan cerita. Tidak ada salah atau benar. Tidak juga ada kesimpulan yang dilontarkan.
Ini pertama kalinya aku menyaksikan suasana membaca lantang di Perpustakaan Taman Bacaan Pelangi. Hidup!
Ingatanku kembali ke suasana belajar – mengajar saat aku duduk di bangku SMP dan SMA. Tentang kegiatan belajar – mengajar di sekolah dasar ingatanku sudah tidak terlalu jelas. Sayang sekali. Tapi seingatku, ada yang tidak pernah berubah dari SMP sampai SMA. Aku suka sekolah. Aku suka mendengarkan guru mengajar di depan kelas. Tapi aku tidak suka saat ‘ceramahnya’ selesai dan beliau mulai bertanya. Sesaat kondisi kelas menjadi mencekam. Hening. Jika beruntung, ada satu atau dua orang teman yang tunjuk tangan untuk menjawab. Yah, lebih sering tidak beruntung, sih. Dan biasanya yang tunjuk tangan yaaaa anak itu itu lagi. Mungkin karena guru juga sudah bosan, mulailah guru menunjuk dia yang tidak mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan. Huh.
Dag dig dug. Sambil berpura – pura menulis apa yang tertulis di papan aku berdoa supaya aku tidak terdeteksi oleh radar guru ini. Ada teman yang membolak – balik buku, mungkin untuk memberi kesan bahwa ia sedang sibuk mencari jawaban. Teman yang lain berusaha bersembunyi di bawah meja dengan alibi mencari penghapus yang jatuh. Sayangnya gelagatnya terlalu mencurigakan. Dia kena tunjuk. Dia gelagapan. Dia mulai membuka mulut dan bersuara. Jawabannya benar, sesuai dengan penjelasan guru tadi. Hanya saja terdengar ragu. Aku yakin dia merasa kegerahan di tengah dinginnya kelas saat itu.
Terasa sekali perbedaan antara pengalamanku dengan apa yang ku saksikan siang ini. Seingatku tidak banyak teman – teman yang aktif bertanya atau menjawab. Termasuk aku. Alasannya hanya satu. Takut. Takut salah. Dari rasa takut ini muncul stigma bahwa belajar tidak menyenangkan.
Taman Bacaan Pelangi hadir memberi dukungan untuk sekolah – sekolah dasar bisa mewujudkan perpustakaan ramah anak. Kami ingin anak – anak bisa merasa nyaman di perpustakaan. Mulai dari rasa nyaman, akan muncul rasa sayang. Sayang dengan buku – buku, sayang dengan perpustakaannya. Selama kegiatan di perpustakaan, seperti di kegiatan membaca lantang ini, guru tidak ‘mengadili’ jawaban mana yang benar dan mana yang salah. Tidak ada yang merasa malu karena tidak ada yang salah. Ada rasa bangga karena bisa mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Kami harap suasana yang ada di perpustakaan ini kelak bisa dibawa ke kelas sehingga kegiatan belajar mengajar bisa semenyenangkan itu.
Dari anak perempuan generasi 90-an,
Cindy