Tiga minggu belakangan ini saya berkesempatan untuk mengunjungi perpustakaan yang kami dukung di beberapa sekolah yang tersebar di Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai Timur, NTT. Perjumpaan kembali setelah hampir dua tahun tidak bertemu tentu membawa cerita sendiri. Apa yang berbeda? Ada cerita baru apa? Merupakan pertanyaan yang kerap saya tanyakan kepada bapak dan ibu guru maupun adik-adik yang saya jumpai di sekolah.
Tidak ketinggalan, saya pun kerap ditanyai tentang hal yang sama. “Ada hal baru apa, Ibu Monik?” Atau “Sudah ganti status kah Ibu Monik?” Atau “Ada kabar baik apa, Ibu Monik? adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan selalu diulang-ulang di semua tempat yang saya kunjungi. Sampai-sampai saya sudah mempersiapkan berbagai jawaban kalau-kalau memang ditanya. Seringnya sih ditanya terus. Tidak ada bapak atau ibu guru yang saya jumpai yang absen untuk menanyakan pertanyaan di atas. :))
Beberapa perpustakaan yang saya kunjungi pun memiliki cerita masing-masing. SDI Tondong Raja misalnya, di Mbeliling, setelah dua tahun ‘ditinggalkan’ ternyata perpustakaannya masih berjalan. Ruangan yang dipakai masih sama seperti saya tinggalkan dua tahun yang lalu. Arti kata ditinggalkan dalam konteks ini adalah perpustakaan yang sudah kami dukung selama hampi 18 bulan akan kami biarkan berjalan secara mandiri. Dukungan kami tidak lagi se-intens dukungan di tahun-tahun pertama.
Begitu juga yang terjadi dengan perpustakaan di SDI Kondas, masih di daerah Mbeliling. Dalam dua tahun ini, perpustakaan juga masih berjalan aktif. Ada beberapa waktu ketika Ibu Pustakawati, Ibu Helen cuti melahirkan, perpustakaan tetap berjalan karena mereka sudah punya kepala perpustakaan yaitu Pak Alo, sang mantan kepala sekolah. Masa mengabdi Pak Alo akan habis di Bulan Desember tahun ini.
Berbeda dengan Pak Yakobus, kepala sekolah SDI Nggorang, Kecamatan Komodo. Beliau bercerita tentang penyakit yang menimpa beliau sehingga harus merelakan ibu jari tangan kirinya untuk diamputasi.
Setelah berjalan secara mandiri selama dua tahun belakangan ini, ada juga perpustakaan yang harus berjuang keras untuk bertahan. Misalnya perpustakaan di SDI Wae Nakeng, Lembor. Kepala sekolah bercerita bahwa memakai gedung perpus untuk menyimpan buku-buku lama merupakan pilihan yang sangat sulit, tapi tidak ada solusi lain juga. Menggunakan perpus jadi ruangan kelas pun sempat dilakukan ketika beberapa ruangan kelas mengalami renovasi. Akan tetapi, selagi beliau berkomitmen untuk menghidupkan semangat Taman Bacaan Pelangi, saya pikir perpustakaan ini akan tetap berjalan.
Tahun demi tahun berjalan tidak menyurutkan minat anak-anak terhadap buku-buku di dalam perpustakaan mereka. Saya menyaksikan antusiasme anak-anak untuk membaca dan meminjam buku dari perpustakaan. Akan tetapi, antusiasme ini kadang dihalangi oleh perpustakaan yang seringnya terkunci. Kepala sekolah, guru, dan pengelola perpustakaan harus saling mendukung supaya hal-hal seperti ini tidak terulang kembali.
Beberapa sekolah lain, seperti SDI Maki dan SDI Wae Ciu di Dampek, Manggarai Timur masih berjalan dengan baik. Meskipun iklim sedang panas-panasnya, antusiasme adik-adik ke dalam perpustakaan tidak surut. Pengelola perpustakaan yang rajin dan ramah merupakan dambaan setiap anak-anak. :))
Oiya, saya juga menyaksikan perbedaan perpustakaan yang diperhatikan oleh kepala sekolah dengan serius dengan kepala sekolah yang biasa-biasa saja. Perpustakaan yang didukung oleh kepala sekolah secara serius lebih panjang umur dan berjalan aktif.
Kendala lain yang dihadapi oleh sekolah juga adalah penambahan koleksi buku perpus setelah beberapa tahun berjalan. Hampir semua perpustakaan tidak ada tambahan koleksi buku. Beberapa ada yang punya tambahan buku cerita yang dibeli menggunakan dana BOS, tapi jumlahnya sangat sedikit.
Mendatangi sekolah-sekolah ini memberikan saya bekal dan perspektif baru. Jalannya perpustakaan ini pun sama seperti jalan kita sebagai mahluk hidup, dalam hal ini sebagai manusia. Ada masa pasangnya, ada juga masa surutnya. Ada yang perlu didukung ketika jatuh, dan ada juga yang berjuang setengah mati untuk bangkit karena sendirian. Ahh.. selain rindu minum kopi bersama, cerita ini sungguh layak untuk disimpan di dalam memori. Sampai jumpa lagi!
Labuan Bajo, 29.10.2018
Monik