Rez, kamu ke Banda Neira ya?, ucap mbak Nila padaku sekitar satu setengah bulan yang lalu. Banda Neira, jika kita tanyakan pada mbah google maka yang akan kita dapati adalah kabar bubarnya Duo penyanyi Indonesia dengan nama tersebut. Perlu sedikit mencari ke bawah dan ke halaman berikutnya untuk mengetahui dimana Banda Neira itu berada.
Banda Neira merupakan gugusan kepulauan di sebelah tenggara Ambon, dibutuhkan waktu sekitar 6 jam dengan menggunakan kapal cepat untuk mencapai lokasi ini dari Pelabuhan Tulehu Ambon. Jika ingin lebih santai maka bisa menggunakan kapal Pelni yang ada setiap 2 minggu sekali namun butuh waktu lebih lama, sekitar 15 jam ada kapal Ngapulo, Tidar, dan Pangrango. Jika ingin lebih cepat bisa menggunakan pesawat, namun sayang saat aku ke Banda pesawat belum beroperasi kembali sehingga naik kapal adalah jalan satu-satunya untuk ke Banda Neira.
Kapal Cepat ke Banda Naira dari pelabuhan Tulehu
Kapal cepat beroperasi 2 kali seminggu pulang pergi ke Banda. Beruntung saat pergi ke Banda Neira dari Tulehu cuaca sangat bersahabat, aku bisa duduk manis di kapal dan menonton film yang diputar di kapal, Mission Imposible 1 hingga Mission Imposible 4 hampir selesai barulah kulihat daratan di jendela kapal. Jika beberapa tahun lalu kita datang ke bandara Cengkareng disambung Sukarno & Hatta, maka saat keluar pelabuhan Banda Neira kita akan langsung disambut oleh Hatta & Sjahrir, bukan patung namun mesjid megah tepat di sebrang pelabuhan yang diberi nama dua orang pendiri bangsa yang pernah diasingkan di pulau ini.
Sebelum melanjutkan ada hal yang membuat aku penasaran, yaitu : Manakah penulisan yang benar BANDA NEIRA atau BANDA NAIRA? Dengan E atau dengan A? Setelah melakukan wawancara ke beberapa warga ternyata penulisan yang benar adalah BANDA NAIRA dengan A, sedangkan BANDA NEIRA dengan E merupakan pelafalan yang biasa diucapkan orang Belanda dahulu. Tapi tak jadi soal bagi masyarakat di sini karena baik di Ambon maupun di sini orang lebih familier dengan dengan menyebut BANDA-nya, bukan NAIRA-nya. Namun selanjutnya aku akan pakai penulisan yang benar yaitu BANDA NAIRA.
Ada 3 pulau besar di Banda Naira yaitu Pulau Naira, Pulau Banda Besar dan Pulau Gunung Api yang jaraknya berdekatan. Selain tiga pulau besar ini ada juga kecil di sekitar Banda Naira yang jaraknya cukup jauh yaitu Pulau Hatta, Pulau Skaru, Pulau Ay, Pulau Rhun, Pulau Nailaka, dan Pulau Manukan. Pulau Naira merupakan pusat kegiatan masyarakat Banda Naira, pelabuhan besar, bandar udara, Pasar, Kantor Pemerintahan berada di pulau ini. Dan di pulau ini juga kita bisa menemukan beberapa peninggalan Belanda mulai dari bangunan bergaya kolonial hingga benteng megah yang masih kokoh hingga kini.
Peta Kepulauan Banda Naira
Tak ada transportasi umum di Pulau Naira, mobil pribadi bisa dihitung dengan jari, sebagian warga menggunakan motor dan sisanya ya jalan kaki saja ke mana-mana. Berjalan kaki menyusuri jalanan Pulau Naira tidak terasa melelahkan, tidak ada kendaraan lalu lalang paling hanya sesekali motor melintas, cuaca di sini tidak terlalu panas dan udaranya masih sangat segar untuk dihirup ditambah pemandangan yang apik di beberapa lorong jalan serasa sedang kembali ke jaman kolonial saat buah pala masih menjadi primadona dunia di tahun 1800-an.
Lorong-lorong jalan di Pulau Naira
Beberapa hari di sini aku baru tersadar bahwa orang-orang Neira tidak seperti orang Indonesia timur kebanyakan. Orang-orang di sini lebih mirip dengan orang Melayu dan orang Jawa pada umumnya, ternyata setelah berbincang dengan Kak Ari pemilik penginapan aku jadi tahu bahwa orang asli Banda sudah diusir dari pulau ini saat Belanda datang. Dan kemudian Belanda membawa pekerja dari Jawa dan pulau Buton untuk mengelola perkebunan pala di sini sehingga mayoritas masyarakat pulau Naira seperti orang Melayu. Walaupun demikian bahasa dan adat budaya Maluku masih sangat kental di sini, setiap kampung memiliki rumah adat tempat perayaan adat biasa digelar. Beruntung saat aku di sini aku bisa menyaksikan prosesi “buka kampung adat” yang menampilkan Cakalele, Tarian perang khas budaya Maluku yang dibawakan oleh pemuda setempat lengkap dengan pakaian adat, pedang, perisai dan tombak diiringi musik tradisional Maluku.
Cakalele, Tarian Tradisional Maluku
Terlalu banyak hal menarik yang bisa diceritakan di sini, namun misi utamaku di sini adalah untuk mendirikan perpustakaan Taman Bacaan Pelangi di Pulau Naira. Untuk itu aku harus mendatangi beberapa sekolah dasar hingga menemukan yang sesuai dengan kriteria. Walaupun ke mana-mana berjalan kaki untuk survey, aku tidak merasa lelah karena pemandangan selama perjalanan selalu membuat penasaran. Ada bangunan tua apakah belokan jalan sana? Ada reruntuhan bangunan apa di ujung jalan sana? Ada gedung megah apakah di kejauhan sana? Pertanyaan-pertanyaan ini yang menemani perjalananku sehingga lelah jadi tak terasa.
Ada 6 sekolah dasar di tersebar di Pulau Naira ini, 5 sekolah di bagian selatan dan satu sekolah di bagian utara. Bagian selatan Naira memang daerah yang padat penduduk, dan pusat-pusat keramaian ada di wilayah ini. Aku mendatangi semua sekolah yang ada di selatan Naira, melihat kondisi sekolah, kondisi perpustakaan yang ada dan berbincang dengan kepala sekolah dan guru-guru tentang pengembangan perpustakaan agar menjadi perpustakaan yang ramah anak. Dari hasil survey ini terpilihlah SDN 2 Naira sebagai mitra kami di Pulau Naira.
SDN 2 Naira adalah sekolah di tengah pulau bagian selatan di jalan Dr. Rehatta, lokasinya tak jauh dengan Benteng Belgica, Benteng Nassau dan rumah pengasingan Bung Hatta . Sekolah dengan bangunan tua yang megah yang dibangun tahun 1800-an, namun masih berdiri kokoh hingga kini. SD ini dahulunya adalah Sekolah Rakyat bagi para bangsawan Belanda dan juga pribumi. Ketika masuk ke ruang kelas kita akan merasakan suasana tempo dulu dengan bangunan yang atapnya sangat tinggi dan pintu jendela yang besar. Maka pantaslah ada kabar bahwa Bung Hatta pernah mengajar di sini, ketika beliau dalam masa pengasingan oleh Belanda di Banda Neira.
SDN 2 Naira yang dahulunya adalah SR atau Sekolah Rakyat
Gedung Perpustakaan di SDN 2 Naira berdiri di dalam kompleks sekolah, bangunannya bukan gedung tua tapi bangunan perpustakaan sama seperti yang kulihat di Flores dan tempat-tempat di Indonesia lainnya. Bangunan berukuran 7 x 8 meter dengan pintu masuk di bagian tengah dengan teras yang dilengkapi 2 pilar utama. Kepala sekolah, guru-guru dan aku sudah tidak sabar untuk memulai transformasi perpustakaan ini agar siswa-siswi di sini lebih bersemangat ke perpustakaan, lebih senang membaca, dan lebih sering meminjam buku. Kira-kira akan jadi seperti apakah perpustakaan SDN 2 Naira nantinya setelah Taman Bacaan Pelangi hadir di sini? Nantikan di ceritaku selanjutnya.
Ahmad Reza..
Terimakasih, artikelnya sangat menarik sekali. jangan lupa untuk mengunjungi kami di Konveksi Kostum Drumband Akmil