Siang menjelang sore di dermaga Kampung Komodo di Pulau Komodo hari itu, saya baru saja selesai menyelesaikan pelatihan bersama para guru dan kepala sekolah SDN Pulau Komodo untuk menciptakan perpustakaan Taman Bacaan Pelangi yang ramah anak. Saya berbincang dengan seorang anak kelas enam yang telah selesai menyelesaikan ritual sore mereka jika air laut pasang: mandi air laut.
Dibesarkan di wilayah yang jauh dari laut, saya iri dengan keberanian dan keahlian mereka berenang di air laut. Saya pun iseng menanyakan pertanyaan yang cukup konyol, “Kamu sejak kapan bisa berenang?”
Ia berpikir keras. Mungkin karena melihat saya yang sangat berharap jawaban darinya, ia paksakan untuk menjawab, “Tidak tahu juga, Kak. Mungkin sejak umur tiga tahun.”
Kemudian saya membandingkan diri saya dengannya, “Kakak baru bisa berenang pas SMP.”
Ia tertawa.
Seolah tak mau ditertawakan begitu saja, saya membela diri, “Di rumah kakak tidak ada pantai.”
Ia pun terkejut ketika saya ceritakan bahwa untuk mencapai laut, saya harus menempuh perjalanan selama tiga jam.
Di hari lain, saat membicarakan O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa Nasional) di tingkat kecamatan, para guru di Pulau Komodo dengan santainya menyatakan bahwa kemungkinan besar perwakilan siswa dari sekolah mereka akan kalah di cabang olahraga atletik. Alasannya? Sederhana saja. Anak-anak yang berasal dari daerah perbukitan yang akan menguasai cabang olahraga ini.
Bukannya tidak memercayai kemampuan anak-anak mereka, namun begitu lah keadaannya. Lingkungan sangat memengaruhi kemampuan anak.
Mereka yang hidup di pulau, mahir berenang. Hampir setiap hari mereka berenang di laut yang terhampar luas di belakang rumah.
Mereka yang tinggal di wilayah perbukitan, kemampuan berlarinya yang sangat kuat. Untuk sampai di sekolah, banyak yang harus berjalan beberapa kilometer setiap hari.
Medan untuk melatih kemampuan, baik di air maupun di darat, tersedia dengan cuma-cuma di hadapan mereka masing-masing.
Ketika keduanya beradu cepat di air, siapa yang (kemungkinan besar) akan menang? Bagaimana dengan adu cepat di darat?
Saya kemudian berpikir, sepertinya hal ini berlaku juga untuk buku.
Mereka yang memiliki akses ke buku-buku berkualitas akan memiliki kemampuan membaca yang baik. Mereka yang terbiasa dengan buku tidak akan kesulitan menyerap apa yang ada di dalamnya. Mereka yang banyak membaca buku akan banyak tahu.
Lalu saya berkaca pada diri saya, apakah adil jika saya menuntut diri saya untuk memiliki kemampuan berenang seperti anak di dermaga tadi?
Apakah adil jika kita menuntut semua anak terdidik dengan baik jika lingkungan yang menunjang mereka beragam?
Apakah adil jika kita menuntut semua anak menjadi pembaca yang baik jika akses ke buku-buku berkualitas tidak merata?
Mahrita