Diskusi antara guru dan pemateri pelatihan “Manajeman dan Kegiatan Membaca di Perpustakaan” beberapa waktu lalu di SDN 1 Katoi, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara sempat memanas. Ada apa gerangan? ๐Ÿ™‚

Saat membahas tema tentang Perpustakaan Ramah Anak, guru-guru dan pemateri diberikan tiga contoh kasus yang menjelaskan mengenai kondisi perpustakaan yang berbeda-beda.

Perpus Pertama digambarkan sebagai berikut:
“Perpustakaannya punya banyak buku dengan jenjang berbeda-beda yang dipajang di rak. Ada ruang bagi anak-anak untuk membaca. Beberapa poster menarik dipajang. Anak bisa meminjam buku setiap hari.
Guru berkeliling dan mengamati anak saat membaca untuk memastikan mereka membaca. Guru memberitahu anak untuk mengembalikan buku yang dipinjam ke perpustakaan setelah 3 hari.”

Sedangkan perpustakaan kedua dijelaskan memiliki kondisi sebagai berikut:
“Perpustakaannya punya banyak buku dengan jenjang berbeda-beda yang dipajang dengan baik di rak. Ada ruang bagi anak-anak untuk membaca. Karya anak dipajang di dinding. Anak bisa meminjam buku setiap hari.
Guru berkeliling untuk mendengarkan anak membaca, dan menunjukkan letak kesalahan mereka. Guru menyuruh anak yang terlambat mengembalikan buku untuk berdiri di depan kelas sehingga murid lain tahu siapa yang belum mengembalikan buku.”

Kondisi perpustakaan ketiga:
“Perpustakaannya punya banyak buku dengan jenjang berbeda-beda yang dipajang di rak. Ada ruang bagi anak-anak untuk membaca. Anak-anak bisa meminjam buku sekali seminggu. Tidak ada karya anak yang dipajang.
Guru berkeliling dan mendengarkan anak ketika membaca, dan memuji upaya mereka. Guru membantu anak yang kurang pandai untuk memahami kata-kata sulit. Guru memberi piagam kepada anak yang meminjam paling banyak buku di tiap semesternya.”

Pertanyaannya adalah di antara perpustakaan pertama sampai ketiga, perpustakaan mana yang paling disukai oleh anak-anak?

Hampir 98% peserta pelatihan memilih perpustakaan pertama menjadi perpustakaan yang paling diminati oleh anak-anak. Alasanya terletak pada ketersediaan buku, poster menarik, dan anak bisa meminjam buku setiap hari.

Pemateri menjelaskan bahwa perpustakaan ramah anak atau perpustakaan yang diminati oleh anak-anak bukan saja tentang buku yang banyak atau poster atau bisa meminjam setiap hari.

Coba kita baca lagi penjelasan mengenai kondisi perpustakaan ketiga! ๐Ÿ™‚

Ibu Mega sedang praktik Membaca Lantang

Ketika dijelaskan kembali bahwa guru atau pengelola perpus suka marah, ditakuti oleh anak-anak, dan tidak ramah, maka sebagus atau senyaman apapun gedung perpustakaannya, dijamin anak-anak tidak akan betah bahkan tidak akan berkunjung ke perpustakaan.

Sebaliknya, kalau guru atau pengelola perpustakan seperti yang dijelaskan di perpustakaan ketiga yaitu “Guru berkeliling dan mendengarkan anak ketika membaca, dan memuji upaya mereka. Guru membantu anak yang kurang pandai untuk memahami kata-kata sulit. Guru memberi piagam kepada anak yang meminjam paling banyak buku di tiap semesternya.”

Semua anak-anak pasti senang kan?! Saya juga senang kalau bertemu dengan guru atau pengelola perpustakaan seperti yang ada di perpustakaan ketiga. Kalau saya menempatkan diri saya sebagai murid, tentu saya akan sering berkunjung ke perpustakaan ketiga.

Nah, kalau memang begitu apa sih faktor utama perpustakaan disukai dan diminati oleh anak-anak?
Apakah fasilitas yang bagus? Koleksi buku yang banyak?

Melalui ketiga contoh perpustakaan di atas, tentu perpustakaan yang paling diminati anak-anak itu adalah perpustakaan yang kalau guru, kepala sekolah, pengelola perpustakaan, komite sekolah, orang tua, penjaga sekolah, dan semua orang dewasa lainnya yang ada di sekolah bersikap ramah dan berbahasa tubuh yang positif terhadap anak-anak. Setuju kan?

Senangnya! ๐Ÿ™‚

Setelah berdiskusi yang panas itu, akhirnya banyak guru berbalik suara untuk memilih perpustakaan ketiga menjadi perpustakaan paling ramah anak. Yeayy!! ๐Ÿ™‚ ๐Ÿ™‚ ๐Ÿ™‚

 

Lasusua, 27.2.2018
Monik